Namanya Aditya.
Aku sudah mengenalnya sejak masih berada di sekolah dasar. Kami tidak satu sekolah, hanya saja kami besar di taman baca Al-Quran bersama. Ia bisa dibilang senior di sana karena dia sudah pandai baca Al-Quran sedangkan aku baru saja belajar.
Sejak awal, aku selalu merasa iri dengannya. Ia memiliki paras yang cukup memikat dan memiliki banyak teman. Hal yang tidak bisa aku miliki. Ia mampu dekat dengan siapa saja, bahkan dengan orang-orang yang aku bisa bilang cukup sulit untuk didekati. Aku hanya mengenalnya dari taman baca Al-Quran itu. Aku merasa ia dan aku memiliki dunia yang berbeda. Dunianya yang penuh dengan cahaya berbanding terbalik dengan duniaku.
Karena perselisihan orangtuaku, aku pun tidak lagi di taman baca Al-Quran. Aku tidak bertemu dengannya lagi. Meskipun sebenarnya aku ingin sekali menanyakan, bagaimana bisa menjadi seperti dirinya, yang bisa dicintai semua orang? Karena terkadang aku selalu merasa, dunia selalu berbalik menyerangku. Haha, sudahlah ini bukan tentangku.
Masuk Sekolah Menengah Pertama, aku kembali bertemu dengannya. Ia beda kelas denganku, tapi aku mengenalnya dan sepertinya ia mengenalku (sepertinya ya,haha). Rambutnya pendek dan ia aktif di kegiatan pramuka. Dan seperti hal sebelumnya, ia memiliki banyak teman dan ia dicintai semua orang.
Di kelas delapan, ia sekelas denganku. Aku duduk dengan kawanku yang sekelas denganku sebelumnya, namun karena suatu hal aku pindah duduk dan sampailah aku duduk dengannya. Kami mengobrol. Ia menyukai buku, sepertiku. Bedanya yang ia sukai adalah novel, sementara aku suka komik. Kami bercerita tentang buku-buku yang sudah kami baca, berdiskusi, dan saling bertukar informasi. Ia memiliki segala hal yang tidak kumiliki. Pengetahuannya, keramahannya, dan kegenerousannya. Makin lama aku makin betah duduk di sebelahnya, semakin aku mengenal dan mengetahui kenapa orang-orang mencintainya. Ia memiliki sifat yang berbanding terbalik denganku. Ia ramah dan meskipun tau tidak menggurui. Ia ceria. Ia pendengar yang baik. Ia pencerita yang ulung. Yang kusukai darinya, ia suka menulis puisi dengan kata-kata dan makna yang sulit kupahami.
Begitu naik kelas ke kelas sembilan, aku dan ia semakin jarang berkomunikasi. Ia sibuk dengan klub pramuka dan targetnya masuk ke SMA negeri, sementara aku sibuk dengan kawanku yang lain dan komik. Kami terkadang berkirim pesan hanya untuk bertanya kapan ada Pesta Buku atau buku terbaru apa yang dimiliki sehingga bisa saling pinjam.
Waktu berlalu hingga ke perguruan tinggi. Ia sekarang berkuliah di kota lain dan aku masih berada di tempat yang sama. Sesekali kami bertemu, mengobrol, berdiskusi, bertukar buku, menghadiri pesta buku, atau mungkin pergi ke toko buku. Buku adalah satu-satunya penghubungku dengannya karena kami memiliki kegilaan yang sama.
Ada satu hal yang paling kuingat darinya, ia berani mengkritikku sementara orang lain tidak berani mengatakan apa-apa atau memujiku secara formalitas. Itu terjadi ketika aku membuat sebuah cerita dan aku menanyakan pendapatnya. Ia terus terang langsung mengatakan kalau ceritaku bertele-tele, ketika yang lain hanya mengatakan "ya, bagus". Aku tertawa dalam hati. Kritikannya sangat membangun dan aku malu pada diriku yang merasa puas dengan pujian "ya, bagus."
Di usianya yang ke-21 ini aku ingin mengucapkan, semoga ia selalu bahagia. Semoga apa yang diinginkannya selalu tercapai. Teruslah membuatku merasa iri karena dengan begitu aku bisa bercermin pada diriku sendiri. Dan meskipun aku tidak memiliki buku dalam diriku, jangan berhenti menjadi temanku. Buktikan kalau kita berteman melebihi dari yang buku bisa berikan.
Salam,
Si Penggila Buku