Ia selalu datang setiap tanggal enam. Memesan minuman yang sama dan duduk di tempat yang sama. Herannya, setiap kali ia datang, tempat duduknya selalu kosong.
Ia selalu mengenakan celana jeans usangnya yang sudah memudar, rambut dicepol berantakan ala kekinian, dan membawa sebuah ransel hitam yang kelihatannya penuh.
Aku sudah mengamatinya sekitar tujuh bulan ini. Mengamati gerak-geriknya dan kenapa ia selalu datang hanya di tanggal enam dan memesan pesanan yang sama. Tapi aku tidak menemukan jawabannya. Pengamatanku tidak membuahkan hasil dan aku terlalu pengecut untuk bertanya. Lagipula, ia akan berpikir kalau aku ingin ikut campur urusannya. Tapi jujur saja, aku tertarik padanya.
Selama tujuh bulan ini, yang aku tau hanyalah namanya, Eri. Itu terjadi saat tempat aku bekerja saat ini sedang penuh-penuhnya dan kami membutuhkan nama pelanggan ketika pesanannya sudah siap. Di saat itulah aku tau namanya, Eri. Suaranya sedikit serak namun terdengar jelas, meninggalkan sedikit kesan kalau ia pribadi yang suka berbicara. Dan suaranya terdengar manis.
"Menunggu si tanggal enam ya?" Tanya Aa, rekan kerjaku. Meskipun kami sudah mengetahui namanya, entah mengapa kami masih suka menyebutnya dengan si tanggal enam. Tanggal enam seolah sudah melekat pada imej Eri.
"Gak juga," jawabku berbohong. Aa hanya menyenggol lenganku, ia sudah mengetahui kalau aku tertarik pada si tanggal enam itu. Dan sampai penghujung hari, ketika kedaiku ini ingin tutup, si tanggal enam tidak kunjung datang. Kecewa? Ya, pastinya. Sebelumnya ia selalu datang pada hari ini.
"Masih bisa pesan kan?" Si tanggal enam tiba-tiba hadir. Antara senang karena aku dapat melihatnya, atau kesal karena aku terlanjur sesumbar untuk menyapanya kalau-kalau ia datang hari ini, aku tersenyum gugup dan kaku.
"I-iya, silahkan. Mau pesan a-apa?" Sambutku kaku. Raut wajah tegang seperti ditodong menghiasiku.
"Froyo aja," jawabnya dengan suara serak, manis, ciri khasnya. "Udah mau tutup ya?"
"I-iya," kataku sambil menyiapkan pesanannya. "Mbak ke sini tiap tanggal segini, abis gajian ya?"
Si tanggal enam tersenyum. "Berhasil kejar target," ujarnya sumringah.
"Oalah, selamat ya mbak," aku pun memberikan pesanannya dan ia membayarnya. "Mbak mau duduk dulu atau-?"
"Gak usah, saya mau pulang aja. Ini untuk selebrasi aja kok," seusai mengambil kembaliannya, si tanggal enam pun pergi. Dari kejauhan aku bisa melihat punggungnya yang menjauh dan kecil itu, dengan rambut cepot berantakan kekinian khasnya.
"Cieee, akhirnya ngomong juga sama si tanggal enam!" Goda Aa seusai menutup kedai. Aku hanya tersenyum malu. "Ngomong apa tadi?"
"Ya nanya dia kenapa ke sininya tiap tanggal enam doang,"
"Terus?"
"Katanya selebrasi dia berhasil kejar target,"
"Widih mantap tiap bulan berhasil kekejar terus targetnya," Aa tiba-tiba bertepuk tangan salut. Aku hanya tersenyum hanya mengangkat bahu. Diam-diam aku juga merasa salut. Dia begitu menakjubkan. Padahal tubuhnya kecil.
**
Seusai menutup kedai, seperti biasanya, aku selalu mendapat giliran untuk membuang sampah pada tanggal lima karena pria yang mendapat shift malam pada hari ini hanya aku.
Dan seperti biasanya pula, meskipun sudah hampir tengah malam, tempat pembuangan sampah masih tetap ramai. Tapi anehnya, tidak ada satupun orang yang kukenal di sana.Apakah mereka karyawan baru yang bekerja di sini?
Tiba-tiba saja badanku merasakan rasa sakit yang luar biasa di bagian perut. Seperti ada sesuatu yang menembus perutku. Aku menoleh ke belakang dan kulihat ia berdiri di sana. Si tanggal enam. Di tangannya ada sebuah pisau tajam dan cukup besar yang berlumuran darah.
Ia kemudian menusukku lagi kali ini di bagian dada yang membuatku langsung roboh ke tanah.
"Maaf, aku harus mengejar target bulan ini," katanya. "Padahal kau cukup oke,"
"Target a-apa?" Tanyaku dengan suara tersenggal-senggal. Aku hampir kehabisan nafas. Tapi aku perlu tau apa yang dimaksudnya.
"Target mengumpulkan daging manusia," sekali lagi ia menusuk tubuhku pada bagian kepala yang membuatku tak sadarkan diri dan semuanya berubah menjadi gelap.
**
END
-07/25/16-
Ia selalu mengenakan celana jeans usangnya yang sudah memudar, rambut dicepol berantakan ala kekinian, dan membawa sebuah ransel hitam yang kelihatannya penuh.
Aku sudah mengamatinya sekitar tujuh bulan ini. Mengamati gerak-geriknya dan kenapa ia selalu datang hanya di tanggal enam dan memesan pesanan yang sama. Tapi aku tidak menemukan jawabannya. Pengamatanku tidak membuahkan hasil dan aku terlalu pengecut untuk bertanya. Lagipula, ia akan berpikir kalau aku ingin ikut campur urusannya. Tapi jujur saja, aku tertarik padanya.
Selama tujuh bulan ini, yang aku tau hanyalah namanya, Eri. Itu terjadi saat tempat aku bekerja saat ini sedang penuh-penuhnya dan kami membutuhkan nama pelanggan ketika pesanannya sudah siap. Di saat itulah aku tau namanya, Eri. Suaranya sedikit serak namun terdengar jelas, meninggalkan sedikit kesan kalau ia pribadi yang suka berbicara. Dan suaranya terdengar manis.
"Menunggu si tanggal enam ya?" Tanya Aa, rekan kerjaku. Meskipun kami sudah mengetahui namanya, entah mengapa kami masih suka menyebutnya dengan si tanggal enam. Tanggal enam seolah sudah melekat pada imej Eri.
"Gak juga," jawabku berbohong. Aa hanya menyenggol lenganku, ia sudah mengetahui kalau aku tertarik pada si tanggal enam itu. Dan sampai penghujung hari, ketika kedaiku ini ingin tutup, si tanggal enam tidak kunjung datang. Kecewa? Ya, pastinya. Sebelumnya ia selalu datang pada hari ini.
"Masih bisa pesan kan?" Si tanggal enam tiba-tiba hadir. Antara senang karena aku dapat melihatnya, atau kesal karena aku terlanjur sesumbar untuk menyapanya kalau-kalau ia datang hari ini, aku tersenyum gugup dan kaku.
"I-iya, silahkan. Mau pesan a-apa?" Sambutku kaku. Raut wajah tegang seperti ditodong menghiasiku.
"Froyo aja," jawabnya dengan suara serak, manis, ciri khasnya. "Udah mau tutup ya?"
"I-iya," kataku sambil menyiapkan pesanannya. "Mbak ke sini tiap tanggal segini, abis gajian ya?"
Si tanggal enam tersenyum. "Berhasil kejar target," ujarnya sumringah.
"Oalah, selamat ya mbak," aku pun memberikan pesanannya dan ia membayarnya. "Mbak mau duduk dulu atau-?"
"Gak usah, saya mau pulang aja. Ini untuk selebrasi aja kok," seusai mengambil kembaliannya, si tanggal enam pun pergi. Dari kejauhan aku bisa melihat punggungnya yang menjauh dan kecil itu, dengan rambut cepot berantakan kekinian khasnya.
"Cieee, akhirnya ngomong juga sama si tanggal enam!" Goda Aa seusai menutup kedai. Aku hanya tersenyum malu. "Ngomong apa tadi?"
"Ya nanya dia kenapa ke sininya tiap tanggal enam doang,"
"Terus?"
"Katanya selebrasi dia berhasil kejar target,"
"Widih mantap tiap bulan berhasil kekejar terus targetnya," Aa tiba-tiba bertepuk tangan salut. Aku hanya tersenyum hanya mengangkat bahu. Diam-diam aku juga merasa salut. Dia begitu menakjubkan. Padahal tubuhnya kecil.
**
Seusai menutup kedai, seperti biasanya, aku selalu mendapat giliran untuk membuang sampah pada tanggal lima karena pria yang mendapat shift malam pada hari ini hanya aku.
Dan seperti biasanya pula, meskipun sudah hampir tengah malam, tempat pembuangan sampah masih tetap ramai. Tapi anehnya, tidak ada satupun orang yang kukenal di sana.Apakah mereka karyawan baru yang bekerja di sini?
Tiba-tiba saja badanku merasakan rasa sakit yang luar biasa di bagian perut. Seperti ada sesuatu yang menembus perutku. Aku menoleh ke belakang dan kulihat ia berdiri di sana. Si tanggal enam. Di tangannya ada sebuah pisau tajam dan cukup besar yang berlumuran darah.
Ia kemudian menusukku lagi kali ini di bagian dada yang membuatku langsung roboh ke tanah.
"Maaf, aku harus mengejar target bulan ini," katanya. "Padahal kau cukup oke,"
"Target a-apa?" Tanyaku dengan suara tersenggal-senggal. Aku hampir kehabisan nafas. Tapi aku perlu tau apa yang dimaksudnya.
"Target mengumpulkan daging manusia," sekali lagi ia menusuk tubuhku pada bagian kepala yang membuatku tak sadarkan diri dan semuanya berubah menjadi gelap.
**
END
-07/25/16-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
watch your words