Kalau disuruh untuk menuliskan tentang Ibu, lebih baik aku segera kibarkan bendera putih. Sejak pertama kali aku bisa menulis, aku paling tidak bisa menulis tentang Ibu. Ide tentang Ibu selalu berputar-putar di otakku dan tidak pernah konstan. Mungkin saat ini Ibu seperti malaikat yang turun dari langit dan diciptakan untukku, tapi keesokkan harinya, Ibu bisa berubah menjadi iblis jahat dari neraka yang bertugas untuk memberi siksaan kepada umat-Nya. Gambaran seorang Ibu di benak setiap orang pasti berbeda-beda, begitu pula dengan ide seorang Ibu di pikiranku.
Ibuku adalah orang yang mandiri. Sejak dulu ia selalu menceritakan kisahnya saat masih susah dulu. Ia anak keempat dari sembilan bersaudara. Ia bercerita kalau ia tidak pernah meminta yang aneh-aneh pada kakekku, bahkan ia meraih gelar sarjana dengan uangnya sendiri. Meskipun begitu, Ibuku orangnya kurang tegas dan cenderung tidak tegaan. Ia menikah dengan ayahku bukan karena cinta, namun karena tidak tega (setidaknya, itulah pikiranku). Ayahku pada suatu hari, datang tiba-tiba ke rumah Ibuku dan melamar Ibuku dengan segenap keluarga besarnya. Ibuku bilang saat itu tante-tanteku mengatakan kalau Ibuku memberi dampak yang positif terhadap Ayahku dan sangat memohon agar mau menikah dengan Ayahku. Mereka pun menikah, lalu lahirlah kakakku dan aku, dan selang lima belas tahun kemudian, mereka bercerai, dan beberapa tahun setelahnya, Ibuku menikah lagi.
Kalau ditanya seperti apakah Ibuku mendidikku, aku akan menjawab Ibu mendidikku untuk jadi pribadi yang mandiri seperti dirinya. Ibuku tidak pernah mengajariku memasak, menyapu, mengepel, mencuci baju, mencuci piring, dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Kalau aku disuruh dan aku tidak bisa melakukannya, beliau bukannya mengajariku malah bilang seharusnya aku memperhatikannya kalau dia sedang melakukan hal itu.
Ibuku juga tidak pernah menuntutku agar menjadi orang yang berprestasi. Beliau terlalu sibuk mengurusi prestasi anak-anak lain di sekolah. Yang penting aku tidak tinggal kelas, mungkin itu yang ada dipikirannya.
Tidak seperti orangtua lainnya yang cerewet pilihan sekolah atau universitas anaknya, Ibuku memberikan sepenuhnya pilihan padaku. Sejak aku Sekolah Menengah Pertama, akulah yang berwenang mengurusi segala macam tetek-bengek urusan akademisku. Sampai terkadang, wali kelasku enggan membagikan buku raport padaku karena ketidakhadiran orangtuaku saat mengambil raport sehingga aku suka memohon agar kakekku yang datang ke sekolah mewakili orangtuaku.
Kebebasan yang diberikan Ibuku termasuk pada kebebasan bermain. Aku suka bermain dengan teman-teman. Terutama bermain di malam hari, karena kalau siang hari cuaca sangat panas di kota tempatku tinggal. Ibuku tidak pernah melarangku untuk bermain kecuali cuaca sedang hujan. Tidak seperti orangtua lainnya yang khawatir pada puterinya, Ibuku hanya akan mengirimi pesan "Sudah malam" ketika waktu sudah lewat pukul sepuluh malam.
Ibuku benci kalau aku seharian duduk di depan laptop, meskipun sudah kukatakan padanya bahwa aku sedang menulis sesuatu atau sedang menonton film untuk mencari ide sebagai bahan tulisan, tapi tetap saja, ia tidak mengerti jalan pikiranku. Dia juga benci kalau aku seharian membaca buku meskipun itu adalah hobiku selain menulis. Padahal pernah suatu ketika ia mengirimiku pesan tentang manfaat membaca buku.
Ibuku adalah seorang pejuang. Meskipun kuakui banyak kekurangan yang ada pada dirinya, tapi ia mampu berjuang membuktikan dirinya kalau ia mampu. Ia mampu menghidupi keluarga kecil kami, hingga aku dan kakakku meraih gelar sarjana. Walaupun mungkin bagi dirinya, aku adalah anak yang tidak tau diri. Tapi yang aku sukai darinya adalah ia percaya padaku. Ia percaya bahwa aku mampu membuat keputusan untuk diriku sendiri dengan tidak mencampuri pilihanku (well, walau ia masih suka berkomentar soal caraku berpakaian). Yah walau bagaimanapun juga, aku suka dipercaya. Kepercayaan lebih penting dari apapun (setidaknya itu menurutku). Jadi intinya, terima kasih telah percaya padaku (meskipun kau tidak merasa demikian, mom).
Salam,
Puterimu
Ibuku adalah orang yang mandiri. Sejak dulu ia selalu menceritakan kisahnya saat masih susah dulu. Ia anak keempat dari sembilan bersaudara. Ia bercerita kalau ia tidak pernah meminta yang aneh-aneh pada kakekku, bahkan ia meraih gelar sarjana dengan uangnya sendiri. Meskipun begitu, Ibuku orangnya kurang tegas dan cenderung tidak tegaan. Ia menikah dengan ayahku bukan karena cinta, namun karena tidak tega (setidaknya, itulah pikiranku). Ayahku pada suatu hari, datang tiba-tiba ke rumah Ibuku dan melamar Ibuku dengan segenap keluarga besarnya. Ibuku bilang saat itu tante-tanteku mengatakan kalau Ibuku memberi dampak yang positif terhadap Ayahku dan sangat memohon agar mau menikah dengan Ayahku. Mereka pun menikah, lalu lahirlah kakakku dan aku, dan selang lima belas tahun kemudian, mereka bercerai, dan beberapa tahun setelahnya, Ibuku menikah lagi.
Kalau ditanya seperti apakah Ibuku mendidikku, aku akan menjawab Ibu mendidikku untuk jadi pribadi yang mandiri seperti dirinya. Ibuku tidak pernah mengajariku memasak, menyapu, mengepel, mencuci baju, mencuci piring, dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Kalau aku disuruh dan aku tidak bisa melakukannya, beliau bukannya mengajariku malah bilang seharusnya aku memperhatikannya kalau dia sedang melakukan hal itu.
Ibuku juga tidak pernah menuntutku agar menjadi orang yang berprestasi. Beliau terlalu sibuk mengurusi prestasi anak-anak lain di sekolah. Yang penting aku tidak tinggal kelas, mungkin itu yang ada dipikirannya.
Tidak seperti orangtua lainnya yang cerewet pilihan sekolah atau universitas anaknya, Ibuku memberikan sepenuhnya pilihan padaku. Sejak aku Sekolah Menengah Pertama, akulah yang berwenang mengurusi segala macam tetek-bengek urusan akademisku. Sampai terkadang, wali kelasku enggan membagikan buku raport padaku karena ketidakhadiran orangtuaku saat mengambil raport sehingga aku suka memohon agar kakekku yang datang ke sekolah mewakili orangtuaku.
Kebebasan yang diberikan Ibuku termasuk pada kebebasan bermain. Aku suka bermain dengan teman-teman. Terutama bermain di malam hari, karena kalau siang hari cuaca sangat panas di kota tempatku tinggal. Ibuku tidak pernah melarangku untuk bermain kecuali cuaca sedang hujan. Tidak seperti orangtua lainnya yang khawatir pada puterinya, Ibuku hanya akan mengirimi pesan "Sudah malam" ketika waktu sudah lewat pukul sepuluh malam.
Ibuku benci kalau aku seharian duduk di depan laptop, meskipun sudah kukatakan padanya bahwa aku sedang menulis sesuatu atau sedang menonton film untuk mencari ide sebagai bahan tulisan, tapi tetap saja, ia tidak mengerti jalan pikiranku. Dia juga benci kalau aku seharian membaca buku meskipun itu adalah hobiku selain menulis. Padahal pernah suatu ketika ia mengirimiku pesan tentang manfaat membaca buku.
Ibuku adalah seorang pejuang. Meskipun kuakui banyak kekurangan yang ada pada dirinya, tapi ia mampu berjuang membuktikan dirinya kalau ia mampu. Ia mampu menghidupi keluarga kecil kami, hingga aku dan kakakku meraih gelar sarjana. Walaupun mungkin bagi dirinya, aku adalah anak yang tidak tau diri. Tapi yang aku sukai darinya adalah ia percaya padaku. Ia percaya bahwa aku mampu membuat keputusan untuk diriku sendiri dengan tidak mencampuri pilihanku (well, walau ia masih suka berkomentar soal caraku berpakaian). Yah walau bagaimanapun juga, aku suka dipercaya. Kepercayaan lebih penting dari apapun (setidaknya itu menurutku). Jadi intinya, terima kasih telah percaya padaku (meskipun kau tidak merasa demikian, mom).
Salam,
Puterimu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
watch your words